gambar
gambar
Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain

Pelajaran Blog - Ahlussunnah wa Al Jama'ah.

Tunggu Postingan Saya Selanjutnya Ya Yang Lebih Menarik Lagi?

TRADISI BUKA LUWUR SUNAN KUDUS

Kamis, 22 November 2012 Label:
Bagi Masyarakat Kudus tentunya sudah mengenal acara Buka Luwur Sunan Kudus. Acara ini merupakan upacara peringatan wafatnya sunan Kudus atau disebut dengan “Khaul” yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram atau 10 Syura.
Namun ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa upacara tradisional Buka Luwur sebenarnya bukanlah Khaul atau peringatan wafatnya sunan Kudus, sebab kapan tanggal wafatnya sunan Kudus tidak atau belum diketahui.
Mengapa Buka Luwur diadakan tanggal 10 Syuro atau 10 Muharram, hal itu disebabkan karena pada tanggal tersebut diyakini bahwa ilmu Tuhan (dari langit) diturunkan ke bumi, sehingga tanggal tersebut dianggap keramat.
Secara kronologis, sebenarnya proses upacara Buka Luwur tersebut diawali dengan penyucian pusaka yang berupa keris yang diyakini milik sunan Kudus yang dilaksanakan jauh sebelum tanggal 10 Syuro, yaitu pada akhir Besar (nama bulan sebelum bulan Syura).
Biasanya air bekas untuk mencuci keris tersebut yang dalam bahasa jawa disebut dengan “kolo”, diperebutkan masyarakat yang memiliki keris untuk mencuci kerisnya, karena mengharap “berkah” dari sunan Kudus.
Kemudian pada tanggal 1 Syura dilakukan pencopotan kelambu atau kain putih penutup makam yang sudah satu tahun digunakan. Kelambu atau kain putih itulah yang disebut dengan Luwur. Kelambu atau kain putih bekas penutup makam tersebut menjadi rebutan masyarakat karena untuk mendapatkan “berkah”.
Pada malam tanggal 9 Muharram atau Syuro diadakan pembacaan Barjanji (berjanjen) yang merupakan ekspresi kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Tanggal 9 Muharram setelah shalat subuh diadakah khataman (pembacaan Al Quran dari awal sampai akhir).
Sementara khataman berlangsung dibuatlah “bubur suro” yaitu makanan yang berupa bubur yang diberi bumbu yang berasal dari berbagai macam rempah-rempah.
Hal ini dimaksudkan sebagai “tafa’ul” kepada Nabi Nuh setelah habisnya air dari banjir yang melanda kaumnya, sedangkan makanan tersebut diyakini dapat menjadi obat berbagai macam penyakit.
Di samping pembuatan “bubur suro” pada saat khataman Al Quran berlangsung, juga diadakan penyembelihan hewan yang yang biasanya berupa kambing dan kerbau, menurut salah seorang yang pernah menjadi panitia dalam acara tersebut kambing yang disembelih bisa mencapai 80 hingga 100 kambing.
Kemudian pada malam harinya, yaitu malam tanggal 10 Muharram diadakan pengajian umum yang isinya mengenai perjuangan dan kepribadian sunan Kudus yang diharapkan menjadi teladan oleh masyarakat.
Pada pagi hari tanggal 10 Muharram setelah shalat subuh dimulailah acara penggantian kelambu atau kain putih yang diawali dengan pembacaan ayat suci Al Quran dan tahlil yang hanya khusus diikuti oleh para kyai, lalu mulailah pemasangan kelambu..
Bersamaan dengan itu diadakan pembagian makanan yang berupa nasi dan daging yang sudah di masak kepada masyarakat, yang dibungkus dengan daun jati. Masyarakat bersusah payah untuk mendapatkan nasi dan daging tersebut, sebab makanan tersebut dianggap memiliki berkah dan banyak mengandung kahsiat menyembuhkan penyakit.
Walaupun hanya mendapatkan sedikit, nasi tersebut biasa disebut dengan “sego mbah sunan” (nasinya sunan Kudus). Setelah acara penggantian kelambu dan pembagian nasi tersebut, berakhir sudah upacara Buka Luwur.
Buka Luwur bagi masyarakat Kudus ibaratnya sebagai “pesta rakyat”. Hal ini dikarenakan, pada acara Buka Luwur melibatkan masyarakat secara aktif. Masyarakat mengumpulkan sendiri bahan-bahan makanan yang akan dibagikan, memasaknya sendiri, dan kemudian dibagikan kepada masyarakat lagi. Semua itu dilakukan dalam kerangka rasa syukur. Panitia Buka Luwur tahun 1427 H (2006 TU) mencatat semua materi yang berkaitan dengan acara Buka Luwur berasal dari sumbangan masyarakat. Kain mori sumbangan masyarakat tercatat sebanyak 3.938 meter, dan kelambu sepanjang 120 meter. Sumbangan uang sebanyak Rp. 87.345.000, beras 12.072 kg, kerbau 11 ekor dan kambing 71 ekor. Belum lagi sumbangan berupa gula pasir, garam, kelapa dan sebagainya yang tidak mungkin dirinci. Semua sumbangan tersebut betul-betul murni dari partisipasi masyarakat, bukan dari hasil usaha panitia. Panitia dilarang mengajukan permohonan sumbangan material dalam bentuk apa pun kepada masyarakat. Larangan ini sudah turun temurun diwarisi dari para pinisepuh, “Buka Luwur jangan diada-adakan dan jangan diminta-mintakan, biarlah berjalan apa adanya”. Pengolahan bahan makanan melibatkan sekitar 1.000 orang, mulai dari penyembelihan, menanak nasi, memasak daging, membungkusi dan membagikan. Beras yang terkumpul selanjutnya ditanak menjadi nasi sebanyak 6.320 Kg, dan sisanya dibagikan kepada masyarakat, terutama yang dlu’afa, dan lembaga-lembaga sosial, seperti panitia-panitia haul tokoh-tokoh Islam dan panti-panti asuhan.Yang menarik untuk dicatat adalah proses penanakan nasi. Penanakan nasi dilakukan dalam 5 angkatan, 4 angkatan masing-masing sebanyak 1.440 kg dan angkatan terakhir 560 kg. Tiap angkatan melibatkan 16 buah dandhang yang masing-masing berkapasitas 80-100 kg beras. Dari sini saja terlihat bahwa penanakan nasi adalah sebuah “kerja kolosal” dengan melibatkan orang dalam jumlah massal, mulai dari pencuci, penanak nasi, pengatur tungku api, pengangkat nasi, ngeler dan ngipasi nasi panas, sampai dengan para pembungkus nasi. Sementara untuk memasak daging terbagi 2, yaitu daging dari hewan sumbangan biasa dan daging hewan yang diniati nadzar atau aqiqah. Daging biasa tercatat 2.958 kg, dan daging nadzar atau aqiqah tercatat 161 kg. Daging masak ini dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu ukuran kecil 2 ons, ukuran sedang 3 ons, dan ukuran besar 4 ons. Yang menarik untuk diperhatikan adalah jenis masakan daging ini ada 2, yaitu dimasak dengan bumbu uyah asem dan jangkrik, keduanya adalah jenis masakan khas Kudus. Selanjutnya hasil masakan berupa nasi daging ini dibungkus dalam 4 kategori, yaitu brekat kecil, brekat sedang, brekat besar, dan nasi bungkusan daun jati. Brekat kecil berjumlah 1.604 buah, brekat sedang 78 buah, brekat besar 65 buah, dan nasi bungkus daun jati 23.100. Lagi-lagi ini menunjukkan sebuah “kerja kolosal”. Secara keseluruhan, brekat dari berbagai kategori berjumlah 24.847 buah, sebuah jumlah yang tidak terhitung kecil lagi. Untuk ini saja membutuhkan tenaga ekstra dalam membagikannya. Dari total 24.847 bungkus nasi, kalau diasumsikan setiap brekat kecil dimakan 4 orang, brekat sedang dimakan 6 orang, dan brekat besar dimakan 8 orang, serta nasi daging bungkus daun jati dimakan 2 orang, maka ada sekitar 53.604 orang yang dapat ikut menikmati makanan brekat dari Buka Luwur. Dari sini terlihat betapa Buka Luwur benar-benar ajang yang memiliki aspek “barakah” secara sosial.
 
Makna Buka Luwur
Buka Luwur merupakan sebuah ekspresi dari kepercayaan melalui akal yang mencoba memahami realita kebenaran mengenai manusia dan sejarah serta kalbu yang digunakan untuk memahami pesan firman-firman Tuhan melalui perasaan.
Hal itu menghasilkan rentetan ceremony atau upacara yang berlangsung secara kronologis dan berjalan secara turun menurun dari generasi ke generasi, yang menjadi ekspresi perasaan masyarakat dalam dinamika tindakannya.
Peringatan Buka Luwur mempunyai nilai yang cukup tinggi. Meneladani nilai-nilai dari perjuangan para wali khususnya sunan Kudus dalam hidup bermasyarakat.
Secara historis, dalam menyebarkan agama Islam para walisongo menggunakan berbagai macam cara yang disesuaikan dengan kebudayaan asli masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha.
Akhirnya agama Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa. Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya setempat memang dianggap membawa dampak negatif yaitu sinkretisasi.
Namun, aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menrima Islam sebagai agama baru. Mereka sadar, apabila menginginkan Islam diterima oleh suatu komunitas tertentu haruslah bersifat akomodatif terhadap budaya lokal setempat tanpa harus kehilangan esensi keislamannya. Cara inilah yang nampaknya dilakukan oleh sunan Kudus.
Hal ini dapat menjadi pelajaran yang berharga dalam kehidupan masyarakat, dengan bentuk masjidnya yang menyerupai kulkul di Bali yang mencerminkan toleransinya terhadap pemeluk agama Hindu.

0 komentar:

Posting Komentar

Masukkan Nama Pasangan Anda!
+ =
Power by
 
Coretan Sabda Langit © 2011 | Design Template by Rizky wardiansyah | Template Blogger Name | Template Transparent 2.0 | Template Transparent 2.0